Seorang anak kecil, kurus, kumuh, dan sendirian, memandang lurus ke satu titik di ujung denyut kehidupan yang berdetak amat cepat.
Memandang dengan satu tatapan yang sulit untuk diartikan oleh rinai kehidupan yang bergerak tanpa henti dan tanpa mempedulikan siapa-siapa.
Mata kecilnya seolah redup. Mungkin ia sedang memahami apa yang disiratkan oleh kehidupan yang ada di depannya.
Entah ia mampu atau tidak, hanya Tuhan yang tahu. Karena mata kecilnya menyiratkan segalanya.
Haaaaahhhhh….
Ingin ia memberontak. Mencabik-cabik segala keindahan semu yang hadir memenuhi ruang pikirannya.
Menghancurkan semua yang berpesta pora di atas awan mendung yang siap mengguyur semua jejak-jejak pasrah yang berlindung di bawahnya.
Merobek lapisan langit untuk membuat matahari membakar seluruh kesombongan yang hanya bisa menulikan telinga pada jerit tangis jejak-jejak pasrah itu.
Memecah belah seluruh tahta keangkuhan dari kaum atas awan dan memorak porandakan semua kemewahan yang terpancar dari mereka, kaum atas awan.
Mata itu semakin meredup. Entah berpikir, entah berusaha untuk menyerah?
Tapi tidak!
Walau mata kecil itu meredup, tapi kobaran semangat di dalamnya semakin menyala dan membakar seluruh daya tubuh kecilnya yang kurus dan kumuh.
Tapi mungkin nanti.
Ia belum menjadi apa-apa sekarang dan juga belum bisa berbuat apa-apa.
Namun khyalnya tanpa batas. Ia berjanji akan meraih itu.
Memorak porandakan keangkuhan kaum atas awan adalah mimpi tertingginya.
Dan mungkin, akan menjadi sesuatu yang nyata.